Thursday, September 27, 2012

Menyusuri Jejak Merah Jalanan Boston
(The Freedom Trail Bag 1)

 

The Freedom Trail seal
Beberapa hari keluyuran di Boston, mengingatkan gw kota ini akan Yogyakarta. Boston adalah rumah bagi puluhan perguruan tinggi, universitas dan lembaga pembelajaran. Tinggal disini, kita seolah turut bergerak dalam aliran gairah hidup yang positif, karena kota dipenuhi oleh penduduk muda yang bersemangat. Dengan banyaknya perguruan tinggi di wilayah kota dan sekitarnya, Boston menjadi pusat pendidikan internasional. 

Arsitektur kotanya juga khas, sebagian besar bangunan di Boston dindingnya berupa bata merah terakota yang dibingkai lis hitam atau putih. Pemandangan khas yang jarang ditemui di kota-kota lain di Amerika. Di beberapa kawasan seperti Beacon Hill, apartemen tua dengan lampu-lampu gas kuno di pinggir jalan masih terawat apik. Kita tak akan bosan menyusuri pedestrianya yang lebar dan nyaman, bangku-bangku tersebar di banyak tempat. Gw suka Boston… "Hehehe tunggu nanti saat winter, kita liat apa kamu masih suka sama Boston", kata Tino teman baruku yang sudah 10 tahun ini menjadi Bostonian. 

Bangunan berwarna terakota di Boston
Sebagai salah satu kota tertua di Amerika Serikat, Boston memiliki peran penting dalam membentuk sejarah, politik, dan budaya negeri Paman Sam. Kontribusinya dalam Kemerdekaan Amerika, membuat Boston dijuluki sebagai “Cradle of Liberty”. Pada akhir abad ke-18, Boston menjadi tempat berbagai peristiwa penting selama Revolusi Amerika, antara lain Boston Massacre tahun 1770, Boston Tea Party tahun 1773.

Salah satu cara untuk mengenal geografi dan sejarah kota Boston, para pendatang disarankan mengikuti tur Freedom Trail. Berbekal brosur, google map dan sneaker, gw dan Bayu memulai perkenalan kami dengan kota Boston. The Freedom Trail adalah jalan sepanjang 2,5 mil atau 4 km yang melewati 16 tempat bersejarah di kota Boston, Massachusetts. Napak tilas sejarah Kemerdekaan AS itu kami mulai dari Boston Common. Pemerintah Kota Boston juga membuat peta berupa garis merah di  jalanan sepanjang rute Freedom Trail, sehingga pengunjung bisa dengan mudah mengikutinya. Gw menelusuri Freedom Trail dalam 3 trip (beda hari) karena ga kuat jalan kaki sejauh itu…

Freedom Trail dimulai di Boston Common. Sebuah taman seluas 24 hektar yang terletak di pusat kota. Dulu, wilayah ini menjadi tempat pasukan Inggris berkemah selama pendudukan tahun 1775-1776. Namun sejak 1830 areal ini difungsikan sebagai taman untuk rekreasi. Dipisahkan oleh Charles Street, kini taman kota tertua di Amerika itu terbelah menjadi 2 bagian, Common dan Public Garden. Tahun 1837 George V Meacham berhasil memenangkan kompetisi design taman yang digelar pemerintah kota Boston. 


Sesuai saran Tino, gw memasuki Boston Common dari Gerbang Barat di Arlington Street. Melewati gerbang taman, pengunjung disambut dengan aneka bunga yang mekar. Warna warni, sebagian besar gw ga tau namanya… yang pasti cantik! Beberapa meter berjalan, barulah gw mengerti mengapa kami disarankan masuk dari Gerbang Barat bukan pintu masuk lainnya. Langkah gw terhenti, begitu juga puluhan pengunjung lainnya, Di depan kami ada lingkaran taman dan tepat di tengahnya berdiri patung tembaga George Washington yang sedang menunggang kuda. Patungnya biasa saja, tapi tepat di belakangnya gedung-gedung kota Boston terbingkai rapi di antara pepohonan. "See, here's one of the best views in Boston!" seru Tino sambil tersenyum. Gw membalasnya dengan mengacungkan jempol. Tino benar, panorama di depan gw ini sungguh memberi kesan pertama yang indah bagi siapapun yang berkunjung ke Boston :)  


Patung George Washington di Boston Common
Meninggalkan George Washington di atas kudanya, gw berjalan mengikuti arus pengunjung lain sambil menikmati keindahan aneka bunga. Sepanjang hari taman ini dipenuhi orang. Ada yang duduk di bangku-bangku taman, banyak juga yang piknik bersama keluarga atau sekedar tiduran di rerumputan. Di beberapa sudut taman, tampak seniman beraksi dengan alat musiknya. Ada yang ngamen diiringi gitar, biola, bahkan sejenis alat musik tradisional..entah apa namanya. Boston Common memang dibuka sepanjang tahun, tapi bunga-bunga bermekaran hanya di bulan April sampai Oktober. Selebihnya taman tertutup salju, dan menjadi arena permainan selama musim dingin.

Orang-orang bersantai di Boston Common



Angin bertiup semilir, saat gw sampai di jembatan yang ada di tengah taman. Di ujung jembatan seorang bapak memainkan alat musik petik yang suaranya mengalun lembut. "Itu Swan Boat Terminal nya, mau naik ga?", tanya Bayu sambil menunjuk ke arah bawah samping jembatan. Salah satu atraksi populer di Boston Common adalah Swan Boat, keliling danau di atas perahu angsa. Beroperasi sejak 1877, awalnya Swan Boat hanya mampu mengangkut 8 orang, karena makin banyak pengunjung yang datang ke Boston Common, kini perahu bisa mengangkut 20 orang.  Keturunan Robert Paget, orang pertama yang meluncurkan perahu ini, ternyata masih mengoperasikan Swan Boat hingga saat ini. Untuk menikmati perjalanan keliling danau selama 15 menit, tiket Swan Boat untuk orang dewasa dipatok $2,75. Dari atas jembatan, antrean naik perahu angsa itu terlihat lumayan panjang. Selain angsa palsu, di sekitar danau juga ada angsa asli dan bebek. Hewan-hewan itu lumayan jinak dan tampak akrab dengan pengunjung yang berbaik hati memberi mereka remahan roti.. 

Swan Boat in Boston Common


Make Way for Ducklings
Menyebrang Charles Street, gw menuju sisi lain Boston Common. Selama ratusan tahun taman kota ini menjadi pusat aktifitas seni, budaya dan politik. Aksi-aksi besar juga digelar disini. Selain itu, Boston  Common juga menjadi rumah bagi beragam karya seni berupa patung dan monumen. Salah satu yang jadi favorit gw adalah patung berjudul Make Way for Ducklings. Patung ini merupakan penghargaan untuk cerita anak-anak dengan nama yang sama oleh penulis Robert McCloskey. Delapan bebek kecil yang manis ini telah memberikan kesenangan terhadap anak-anak di taman ini selama beberapa dekade :)

Kawasan taman di sekitar patung bebek ini boleh dibilang surganya bocah-bocah. Di sebelah timur suara musik dari merry-go-round memanggil-manggil calon penunggangnya. Sementara di sebelah barat ada Play Ground yang lumayan besar dengan aneka permainan. Tepat di seberangnya, membentang sebuah kolam dangkal, kira-kira tingginya 30 cm yang cukup terkenal dengan sebutan Frog Pond. Di musim panas, kolam dipenuhi anak-anak yang bermain air karena di bagian tengahnya ada beberapa air mancur. Saat musim dingin, Frog Pond ini berubah menjadi arena ice skating.
Frog Pond favoritnya bocah-bocah :)
Meninggalkan Frog Pond gw berjalan menuju Massachusetts State House. Tapi keliling taman lumayan bikin kaki pegel, jadilah kami duduk-duduk sebentar melepas penat sambil menikmati keindahan air mancur. The Fountain Brewer ini disumbangkan oleh Gardner Brewer pada tahun 1868, merupakan salinan dari air mancur yang dirancang oleh seniman Perancis Liénard untuk Pameran Dunia 1855 di Paris. Biasanya banyak kelompok sosial yang membagikan makanan gratis untuk para gelandangan yang ada di sekitar taman pada sore hari. Dari tempat kami duduk, kubah kuning keemasan Massachusetts State House sudah terlihat.


The Fountain Brewer
Dirancang oleh Charles Bulfinch, Masachusetts State House selesai dibangun pada 11 Januari 1798. Sebelum Kemerdekaan AS, lokasi ini digunakan sebagai padang rumput sapi milik John Hancock. Saat ini, Massachusetts State House adalah salah satu bangunan tertua di Beacon Hill, dengan luas perkarangan 6,7 hektar.

The Massachusetts State House
Kubah emas The Massachusetts State House itu awalnya terbuat dari kayu. Paul Revere, salah satu pahlawan AS, kemudian melapisinya dengan tembaga. Pada tahun 1874 barulah kubah dilapisi dengan emas 23 karat. Selama Perang Dunia II Masachusetts State House dicat hitam, untuk melindungi kota dari serangan bom. Kubah State House terkahir kali disepuh emas pada tahun 1997. Gedung ini dikenal masyarakat Boston sebagai New State House, untuk membedakannya dari Old State House yang berada di sudut State Street dan Congress Street. Sebuah biji pinus berlapis emas menghiasi bagian atas Kubah Massachusetts State House sebagai simbol ketergantungan negara pada penebangan kayu di abad ke-18. 
Senja segera berakhir, saat kami meninggalkan kemilau kubah emas mengikuti jejak garis merah Freedom Trail di jalanan menuju Faneuil Hall..

Tuesday, September 18, 2012

3 Jam di Harvard Yard, 3 Kebohongan yang Bertahan
(Kisah Statue of the Three Lies) 


Bendera merah marun bergambar huruf ve-ri-tas di tiga buku yang terbuka berkibar ditiup angin, saat gw keluar dari pintu utama stasiun Harvard Square di Cambridge, Massachusetts, awal Agustus lalu. Suasana cukup ramai, wajah-wajah dari berbagai ras manusia tampak berseliweran. Harvard Square merupakan tujuan wisata yang selalu ramai pengunjung. Sesuai namanya, disinilah lokasi Universitas Harvard, salah satu kampus paling bergengsi di dunia. Veritas adalah logo Universitas Harvard yang artinya Kebenaran.

Sebagai salah satu pusat keramaian di kota Cambridge, Harvard Square dipenuhi deretan restoran, cafe, toko pakaian, sepatu hingga toko-toko buku. Di beberapa tempat tampak seniman beraksi, ada yang ngamen dengan sejumlah alat musik, ada juga yang menawarkan jasa melukis. Gw berjalan menuju ke tengah plaza, ke tempat loket informasi. Dari sana gw diberitahu, pengunjung bisa melakukan tur sendiri dengan berbekal peta dan informasi yang sudah disediakan atau mengikuti tur Sejarah Harvard dengan mendaftar ke Information Center yang gedungnya tak jauh dari loket tempat gw berdiri. 



Gw memilih ikut tur, karena memang tidak sedang buru-buru dan paket turnya juga gratis. Setelah mendaftar, ternyata hanya menunggu sekitar 15 menit. Dalam sehari jadwal tur dibagi dalam 5 shift dengan durasi sekitar 1 jam. Pemandunya mahasiswa Harvard  yang duduk di semester 3 hingga 5.

Saat itu tepat pukul 3 sore, ada 4 kelompok wisatawan yang berkumpul di depan Harvard Information Center. Tiap kelompok berisi sekitar 20-an  orang. Lumayan ramai. Pemandu tur gw namanya Casey,  mahasiswi semester 3 Harvard Law School asal Australia. Badannya terhitung mungil untuk ukuran bule, tapi suaranya cukup lantang.

Dari Harvard Square, Casey membawa rombongan kami menyebrangi Massachusetts Avenue dan masuk melalui Johnston Gate menuju Harvard Yard, halaman berumput dengan luas sekitar 25 hektar yang merupakan bagian tertua dan menjadi pusat kampus Universitas Harvard. Areal hijau itu menampung 13 dari 17 asrama mahasiswa, 4 perpustakaan, 5 bangunan ruang kelas dan departemen akademik, serta kantor pusat universitas.

Summer in Harvard Yard, Cambridge, MA
Saat itu musim panas, matahari bersinar cerah dan angin sesekali bertiup. Pohon-pohon rindang dengan daun hijau yang rimbun. Bunga-bunga yang bermekaran,  membuat suasana makin teduh. Halaman rumput yang ada di depan asrama ramai penghuni. Ada yang asik sendirian dengan laptop atau bukunya, atau sekedar tidur-tiduran, ada juga kelompok mahasiswa yang asik ngobrol. Suasananya menyenangkan dan santai. Mereka terlihat cuek, tak terpengaruh dengan riuhnya gerombolan wisatawan. 

Betah rasanya berlama-lama disini...
 
Massachusetts Hall
"Ini adalah bagian Harvard Yard yang paling terkenal, biasa disebut Old Yard", jelas Casey. Selain asrama mahasiswa, di Old Yard terdapat Massachusetts Hall yang dibangun tahun 1720 yang merupakan gedung tertua di kampus Harvard. Di depan Massachusetts Hall ada bangunan yang disebut Harvard Hall. Dulu bangunan itu merupakan perpustakaan tempat disimpannya buku-buku awal sumbangan John Harvard sehingga diberi nama sesuai penyumbangnya. Namun pada tahun 1764 gedung tersebut terbakar, tak ada benda yang tersisa termasuk dokumen dan gambar John Harvard. Tahun 1766 Harvard Hall kembali dibangun dan difungsikan sebagai ruang kelas hingga sekarang. 

Straus Hall di Old Yard Harvard
Sambil mendengarkan penjelasan Casey, rombongan kami bergerak perlahan menyusuri jalanan Old Yard. "Nah, bangunan di sebelah kiri kita itu namanya Straus Hall, asrama tempat tinggal Mark Zuckerberg saat dia kuliah dulu", kata Casey. Sontak pandangan kami mengarah ke bangunan yang ditunjuk Casey, sambil membayangkan hari-hari jutawan muda itu saat ia menciptakan Facebook. Jejaring sosial yang awal-awal kemunculannya di Jakarta, sukses membuat orang-orang keranjingan reuni :)

Universitas Harvard didirikan pada 8 September 1636 dan merupakan perguruan tinggi tertua di Amerika Serikat. Awalnya bernama New College, dan dinamakan ulang menjadi Harvard College pada 13 Maret 1639 untuk menghormati penyumbang terbesarnya, John Harvard, seorang mantan mahasiswa Universitas Cambridge. Rujukan terawal yang menyebutkan Kampus Harvard sebagai "universitas" dan bukan "college" terjadi pada tahun 1780.

Jumlah pelamar ke Kampus Harvard dari tahun ke tahun meningkat. Namun sejak 2 tahun terakhir panitia penerimaan Harvard memangkas tingkat penerimaan siswa barunya menjadi 7,1% dari angka 9% pada tahun sebelumnya. Ini merupakan rekor terendah sejak universitas itu berdiri 376 tahun lalu. Lamaran siswa ke universitas terkaya di AS itu meningkat, setelah pada akhir 2009 lalu Harvard menyatakan akan mengurangi ongkos kuliah agar lebih terjangkau bagi keluarga menengah. Harvard, yang memiliki pemasukan 35 miliar dolar, mengumumkan akan mengeluarkan dana hingga 172 juta dolar setiap tahun agar para orangtua mahasiswa yang berpenghasilan tidak lebih dari 180 ribu dolar per tahun, hanya perlu mengeluarkan maksimal 10% saja dari jumlah itu untuk biaya kuliah per tahun bagi anaknya. Sedangkan mahasiswa dengan orangtua yang penghasilan per tahunnya tidak lebih dari 60 ribu dolar, tidak perlu membayar uang kuliah. Saat ini biaya kuliah S1 di Harvard adalah $54,496 termasuk kamar, makanan dan ongkos pelayanan.

Penghuni asrama asik ngobrol, belajar, ngemil di halaman
 Casey juga membawa kami melihat Memorial Church, gereja tertua di kompleks Harvard dan Theater Tercentenary tempat diselenggarakannya berbagai acara seni dan budaya. Tepat di seberangnya, melintasi halaman rumput luas, berdiri kokoh The Harry Elkins Widener Memorial Library. Bangunan seluas 30.000 m2 itu merupakan perpustakaan terbesar dari 4 perpustakaan Harvard lainnya. Saat ini Widener Library memiliki koleksi setidaknya 15,6 juta buku dan naskah, dengan rak buku sepanjang 92 km.

Memorial Hall
Memorial Church
 Widener Memorial Library
Setelah berjalan keliling sekitar 1 jam, sampailah kami di tempat yang paling banyak dikerubuti wisatawan. Namanya University Hall, dan tepat di depannya berdiri patung perunggu John Harvard karya Daniel Chester French tahun 1884. Awalnya patung itu ditempatkan di Memorial Hall, namun dipindahkan saat perayaan HUT Universitas Harvard yang ke-250. 
Patung John Harvard di depan University Hall
"Statue of the Three Lies"
Meski begitu, patung John Harvard juga terkenal dengan julukan sebagai "Statue of the Three Lies" atau patung dengan tiga kebohongan. Begini ceritanya, pada prasasti patung John Harvard tertulis: “John Harvard, Founder, 1638.” Padahal faktanya bukan itu. Kebohongan pertama, saat patung itu dibuat tidak ada gambar John Harvard, karena seluruh dokumentasi dirinya musnah saat Harvard Hall terbakar tahun 1764. Saat akan membuat patung, Daniel Chester French memilih secara acak seorang siswa bernama Sherman Hoar. Dengan menggunakan busana lelaki abad ke-17, Sherman Hoar dijadikan model oleh Daniel Chester French untuk membuat patung John Harvard tahun 1884. Jadi, patung yang ada sekarang bukanlah John Harvard yang sesungguhnya. Kebohongan kedua, John Harvard bukanlah pendiri universitas tertua di Amerika itu. Namanya diabadikan karena ia merupakan donatur utama saat perguruan tinggi itu didirikan. Pendiri Universitas Harvard adalah Massachusetts Bay Colony, yang saat itu masih disebut New College. Kebohongan ketiga adalah bahwa Universitas Harvard didirikan pada 1636 bukan tahun 1638 seperti yang tertulis di prasasti patung.

Meski berjuluk Statue of the Three Lies, patung John Harvard tetaplah menjadi primadona Harvard Yard. Butuh kesabaran agar bisa berfoto bersama sang patung, harus antre diantara ratusan pengunjung. Jumlahnya berkali lipat saat musim liburan atau akhir pekan. Jika diperhatikan, bagian ujung sepatu patung John Harvard terlihat beda warnanya, lebih terang dan kuning mengkilap. Itu karena ada mitos, orang yang bisa mengelus sepatu John Harvard akan mendapat keberuntungan, dirinya atau anggota keluarganya, dipercaya akan mendapat keberuntungan bisa bersekolah di universitas bergengsi itu.

Dari sekian banyak rombongan wisatawan di Kampus Harvard, yang paling menonjol adalah rombongan pelajar dari Jepang dan China. Jumlahnya lumayan banyak. Mereka datang dengan rombongan tur sendiri. Usianya baru belasan, kira-kira seumuran anak SMP, tapi wajah-wajah antusias mereka sungguh menggetarkan...Sejak dini, anak-anak itu dikenalkan dan diberi impian agar kelak belajar di kampus yang banyak melahirkan orang-orang sukses. 

Menikmati matahari sore di Harvard Yard
Sambil bersantai di halaman rumput layaknya penghuni  Old Yard...Gw berharap anak-anak Indonesia kelak akan seperti anak-anak muda China dan Jepang itu. Paket wisata di tanah air tak hanya menawarkan asiknya berlibur ke Disneyland tetapi juga  wisata ke Harvard atau kampus Ivy League lainnya...

Sunday, September 16, 2012

Jejak Nusantara di House of The Temple, Candi Utama Kaum Mason
(Washington DC Bagian akhir)


Menyusuri Washington DC selama 4 hari, terasa betul bahwa negeri ini serius mengukuhkan sejarahnya lewat sebuah kota. Bangsa ini mengagungkan pencapaian manusianya lewat deretan museum di National Mall yang dikelola Smithsonian Institute serta gedung dan monumen untuk mengenang para pahlawannya. Washington DC tak sekedar kota pemerintahan yang membosankan dengan lalu lalang para politisi di gedung parlemen. Pengunjung dipuaskan dengan arsitektur kota yang bergaya abad pertengahan, jalur-jalur jalan yang rapi dengan trotoar lebar yang memanjakan pejalan kaki. Di tengah pertigaan jalan, banyak dibuat taman melingkar, dengan bunga-bunga indah dan deretan kursi. Tepat di tengahnya, berdiri patung-patung para jenderal dari masa-masa peperangan. Washington DC dibangun untuk mengabadikan sejarah, kebanggaan, dan kebesaran AS.

Selain itu, arsitektur Washington DC juga sulit dilepaskan dari simbol-simbol Masonik. Mulai dari Washington Monument yang berupa Obelisk Mesir yang berada dalam Circumpunt, lukisan momen The Apotheosis-nya George Washington di US Capitol, logo The Eye in Pyramid yang tercetak dalam lembaran $1, serta banyak simbol Mason lainnya yang tersebar di penjuru kota, hingga sederet tokoh penting negeri ini yang dikenal sebagai anggota Freemason. Freemason, seolah ibu yang melahirkan Washington DC, ibu kota Republik Baru di tanah impian. Kenyataan itulah yang menuntun gw siang itu menuju sebuah bangunan terpenting Freemason. Kurang afdol rasanya, jika tak melihat langsung kantor pusat organisasi yang melahirkan tokoh-tokoh penting di dunia itu. Kebetulan lokasinya hanya beberapa blok dari hotel tempat gw menginap di Dupont Circle.
 

Akhirnya tibalah gw disini. House of The Temple: Home of The Supreme Council, 33°, Ancient & Accepted Scottish Rite of Freemasonry. 


Terletak di 1733 Sixteenth Street NW di Washington DC, House of The Temple berdiri megah, menempati areal 1.000 meter persegi. Dari kejauhan tampak jelas bahwa bagian atas House of The Temple ini berupa piramid. Pyramid Mason adalah bentuk piramid yang terpotong dengan sebuah mata di bagian puncaknya.

Melangkah perlahan, sambil memusatkan pandangan ke depan ke arah pintu masuk utama, kaki gw menapaki pelataran, yang terdiri dari 3 tingkatan. Pelataran pertama dengan 3 anak tangga, selanjutnya berderet berupa 5 anak tangga, 7 anak tangga dan pelataran terakhir menuju pintu utama terdiri dari 9 anak tangga. Sambil menghitung, gw bertanya-tanya dalam hati…adakah artinya jumlah anak-anak tangga tadi?  

Di sisi kiri dan kanan tangga menuju pintu utama ada patung sphinx raksasa. Belakangan gw tau, kedua patung sphinx penjaga kuil itu berbobot tujuh belas ton dan diukir oleh Alexander Weinman. Satu memiliki mata setengah tertutup yang merupakan simbol kebijaksanaan, sedangkan sphinx lainnya dengan mata terbuka, yang merupakan simbol kekuasaan. 



Melihat ke atas, bangunan utama kantor pusat Freemason ini dikelilingi pilar-pilar besar. Jika dihitung, jumlahnya ada 33 buah pilar yang masing-masing tingginya 33 meter. 33 adalah angka istimewa bagi kaum Mason. Dalam jenjang keanggotaan Mason, derajat ke 33 adalah yang tertinggi. Jangan lupakan juga, alamat gedung ini juga berisi nomor 33.
 

Sementara di tiap sudut luar bangunan, tampak ukiran Kepala Elang Kembar yang merupakan simbol Scottish Rite Freemason. Tulisan di batu pojok House of The Temple menyebutkan pada 18 Oktober 1911 Grand Master J. Claude Keiper, dari Grand Lodge Distric of Columbia, meletakkan batu pertama di sudut timur laut bangunan ini. Batu pojok merupakan salah satu ciri khas bangunan Mason, selalu diletakkan di timur laut bangunan karena di bagian itulah yang pertama kali diterangi sinar matahari. Candi ini rampung dibangun pada 1915.
 
Tiba di pelataran teratas setelah melewati patung sphinx, langkah gw dan Bayu terhenti. Sederetan kalimat terukir rapi di lantai marmer. Tapi yang menyita perhatian kami adalah di samping deretan kata-kata itu ada gambar sebuah pedang. Tepatnya pedang dengan ujung meliuk dan meruncing di bagian atasnya. Bentuk pedang aneh itu terlalu akrab bagi gw, bahkan mungkin bagi sebagian besar orang Indonesia. "Ini bukan pedang, mana ada dalam sejarahnya pedang meliuk begini. Ini lebih tepat kalo disebut keris. Itu yang bagian puncaknya meliuk-liuk disebut luk!", kata Bayu. Wow, kejutan menarik buat kami yang putra asli Nusantara, menyaksikan sebuah "Keris" di pelataran utama House of The Temple, Candi utama kaum Mason! 

Gw sendiri sebetulnya ga banyak tau tentang keris, tapi Bayu yang orang Jawa dengan yakin mengatakan senjata itu adalah keris dengan bentuk bagian bawah lurus seperti pedang yang diujungnya meliuk membentuk luk 7 yang dikenal dengan nama Murmo Malelo. Keris jenis itu terbilang langka, tidak sepopuler keris Nagasasra yang banyak dikoleksi penggemar keris.

Setelah puas melihat dan berfoto dengan keris Mason, kami melanjutkan langkah menuju pintu utama yang berukuran besar, yang terbuat dari perunggu. Di bagian tengahnya, ada tuas pengetuk pintu, berukiran Kepala Singa, yang bentuknya mengingatkan gw pada ukiran di sebuah candi peninggalan Majapahit di Trowulan, Jawa Timur. Di pinggiran pintu, ada deretan ukiran berupa bunga, yang lagi-lagi menggelitik ingatan gw dan Bayu. Ukiran bunga padma atau lotus yang ada di pintu Candi utama Mason ini mirip banget dengan lambang kampus UGM, almamater kami. Melihat lambang-lambang tadi sebuah lintasan pikiran liar berkecamuk di kepala gw, jejak nusantara setidaknya ditemukan disini, adakah hubungannya dengan Freemason? 


 
Memasuki ruang utama House of The Temple, dekorasi hieroglif Mesir mendominasi pemandangan. Di kaki tangga di bagian dalam ada patung bergaya Mesir dan hieroglif yang artinya "Established to the Glory of God" dan "Dedicated to the teaching of wisdom to those men working to make a strong nation."



Kalimat "From the outer darkness of ignorance through the shadows of our earth life winds the beautiful path of initiation unto the divine light of the holy altar" terpahat rapi di dinding bagian atas ruang utama. 


Gw membayangkan, di ruangan inilah, setiap 2 tahun sekali para pemimpin Freemason dari seluruh dunia berkumpul, tradisi yang dipelihara sejak ratusan tahun lalu. Sejumlah nama penting, termasuk penandatangan Deklarasi Kemerdekaan AS, George Washington serta tokoh lainnya seperti Theodore Roosevelt, Gerald Ford dan 13 presiden AS lainnya juga dikenal sebagai Freemason. House of The Temple, yang jaraknya 1 mil atau 1,6 km dari Gedung Putih ini,  telah menjadi kantor kedua para Presiden AS selama bertahun-tahun.
 

Semua perlengkapan yang ada di House of The Temple ini terbuat dari kayu Walnut Rusia, dari pohon-pohon yang terbakar meteor di Rusia. 

Tepat di tengah ruang utama, ada sebuah altar yang terbuat dari batu marmer hitam. Di atasnya ada 4 buah Kitab: Injil,Taurat, Al-quran, dan Bhagavad Gita. Di keempat sisinya, dikelilingi tulisan: "From the light of the Divine Word, the Logos, comes the wisdom of life and the goal of initiation."

Freemason selama ini dipandang sebagai kelompok masyarakat misterius dan salah satu persaudaraan dunia yang paling kuat. Namun, belakangan Freemason menjadi objek rasa ingin tahu banyak orang setelah ia dijadikan sumber konspirasi dalam film dan novel. Dalam film National Treasure yang dirilis tahun 2004, aktor Nicolas Cage mengikuti petunjuk-petunjuk Masonik yang tersembunyi dalam Deklarasi Kemerdekaan AS mengejar harta karun berupa emas. Lima tahun berikutnya, Dan Brown merilis The Lost Symbol, novel yang mengungkap arsitektur kota Washington DC yang sarat simbol-simbol Masonik.  Mungkin karena intrik-intrik itulah, jumlah pengunjung House of The Temple yang menjadi kantor pusat Freemason di Washington DC ini, sejak 3 tahun terkahir meningkat 3 kali lipat  menjadi 12 ribu pengunjung tiap tahun. 






Sejarah Freemason berawal pada pertengahan abad ke-15, berupa perkumpulan tukang batu ahli bangunan yang membangun katedral-katedral di Eropa. Perkumpulan ini kemudian membesar dan menjadi kelompok elit yang anggotanya secara materi kaya dan menjadi tokoh-tokoh penting di masyarakat. Freemason tiba di AS awal abad ke-18. Mulanya, anggota kelompok ini semua laki-laki dan berkulit putih, namun kini anggota organisasi Mason terdiri dari beragam etnis termasuk perempuan. Tahun 1959 anggota Mason di AS mencapai puncaknya yakni 4 juta orang, namun jumlah itu terus mengecil, tahun 2011 hanya 1,3 juta penduduk AS yang tercatat sebagai anggota Freemason. Tak hanya di AS, Freemason juga berkembang di banyak negara di dunia. 



Kelompok ini, kini mendedikasikan organisasi mereka untuk filantrofi, setidaknya lebih dari 2 juta dollar sehari disumbangkan untuk bidang kesehatan, pendidikan dan penelitian di berbagai bidang.
 

Di lantai tiga House of The Temple terdapat sebuah perpustakaan yang berisi ribuan buku, sejarah tokoh Mason Albert Pike dan artefak Masonik lainnya. Di antara artefak yang dipamerkan adalah sertifikat keanggotaan Mason yang ditandatangani oleh Paul Revere, tokoh Mason yang juga dikenal sebagai pelopor peristiwa legendaris Boston Tea Party tahun 1773, serta sebuah lukisan besar George Washington menggunakan celemek Masonik saat meletakkan batu pertama pembangunan gedung US Capitol tahun 1790.




House of The Temple dirancang oleh non-Mason John Russell Pope, arsitek yang juga merancang Jefferson Memorial dan bangunan utama National Gallery of Art. Bangunan House of the Temple terinspirasi oleh Mausoleum di Halicarnassus, salah satu dari Tujuh Keajaiban Dunia Kuno. 



Mausoleum di Halicarnassus
(Circa 352 SM)
Sisa-sisa bangunan Mausoleum Halicarnassus sudah tidak ditemukan lagi di Circa, atau yang sekarang kita kenal berada di wilayah Turki. Namun beberapa patung kecil peninggalannya kini bisa ditemukan di British Museum.

House of The Temple adalah persinggahan terakhir gw di Washington DC. Di luar, angin bertiup, mulai terasa dingin, pertanda musim panas tahun ini segera berakhir. Siang itu, gw pulang ke Boston dengan perasaan senang, membayangkan tak lama lagi daun-daun maple di ujung jalan dekat rumah segera berubah warna menjadi kuning dan kecoklatan.