Thursday, September 27, 2012

Menyusuri Jejak Merah Jalanan Boston
(The Freedom Trail Bag 1)

 

The Freedom Trail seal
Beberapa hari keluyuran di Boston, mengingatkan gw kota ini akan Yogyakarta. Boston adalah rumah bagi puluhan perguruan tinggi, universitas dan lembaga pembelajaran. Tinggal disini, kita seolah turut bergerak dalam aliran gairah hidup yang positif, karena kota dipenuhi oleh penduduk muda yang bersemangat. Dengan banyaknya perguruan tinggi di wilayah kota dan sekitarnya, Boston menjadi pusat pendidikan internasional. 

Arsitektur kotanya juga khas, sebagian besar bangunan di Boston dindingnya berupa bata merah terakota yang dibingkai lis hitam atau putih. Pemandangan khas yang jarang ditemui di kota-kota lain di Amerika. Di beberapa kawasan seperti Beacon Hill, apartemen tua dengan lampu-lampu gas kuno di pinggir jalan masih terawat apik. Kita tak akan bosan menyusuri pedestrianya yang lebar dan nyaman, bangku-bangku tersebar di banyak tempat. Gw suka Boston… "Hehehe tunggu nanti saat winter, kita liat apa kamu masih suka sama Boston", kata Tino teman baruku yang sudah 10 tahun ini menjadi Bostonian. 

Bangunan berwarna terakota di Boston
Sebagai salah satu kota tertua di Amerika Serikat, Boston memiliki peran penting dalam membentuk sejarah, politik, dan budaya negeri Paman Sam. Kontribusinya dalam Kemerdekaan Amerika, membuat Boston dijuluki sebagai “Cradle of Liberty”. Pada akhir abad ke-18, Boston menjadi tempat berbagai peristiwa penting selama Revolusi Amerika, antara lain Boston Massacre tahun 1770, Boston Tea Party tahun 1773.

Salah satu cara untuk mengenal geografi dan sejarah kota Boston, para pendatang disarankan mengikuti tur Freedom Trail. Berbekal brosur, google map dan sneaker, gw dan Bayu memulai perkenalan kami dengan kota Boston. The Freedom Trail adalah jalan sepanjang 2,5 mil atau 4 km yang melewati 16 tempat bersejarah di kota Boston, Massachusetts. Napak tilas sejarah Kemerdekaan AS itu kami mulai dari Boston Common. Pemerintah Kota Boston juga membuat peta berupa garis merah di  jalanan sepanjang rute Freedom Trail, sehingga pengunjung bisa dengan mudah mengikutinya. Gw menelusuri Freedom Trail dalam 3 trip (beda hari) karena ga kuat jalan kaki sejauh itu…

Freedom Trail dimulai di Boston Common. Sebuah taman seluas 24 hektar yang terletak di pusat kota. Dulu, wilayah ini menjadi tempat pasukan Inggris berkemah selama pendudukan tahun 1775-1776. Namun sejak 1830 areal ini difungsikan sebagai taman untuk rekreasi. Dipisahkan oleh Charles Street, kini taman kota tertua di Amerika itu terbelah menjadi 2 bagian, Common dan Public Garden. Tahun 1837 George V Meacham berhasil memenangkan kompetisi design taman yang digelar pemerintah kota Boston. 


Sesuai saran Tino, gw memasuki Boston Common dari Gerbang Barat di Arlington Street. Melewati gerbang taman, pengunjung disambut dengan aneka bunga yang mekar. Warna warni, sebagian besar gw ga tau namanya… yang pasti cantik! Beberapa meter berjalan, barulah gw mengerti mengapa kami disarankan masuk dari Gerbang Barat bukan pintu masuk lainnya. Langkah gw terhenti, begitu juga puluhan pengunjung lainnya, Di depan kami ada lingkaran taman dan tepat di tengahnya berdiri patung tembaga George Washington yang sedang menunggang kuda. Patungnya biasa saja, tapi tepat di belakangnya gedung-gedung kota Boston terbingkai rapi di antara pepohonan. "See, here's one of the best views in Boston!" seru Tino sambil tersenyum. Gw membalasnya dengan mengacungkan jempol. Tino benar, panorama di depan gw ini sungguh memberi kesan pertama yang indah bagi siapapun yang berkunjung ke Boston :)  


Patung George Washington di Boston Common
Meninggalkan George Washington di atas kudanya, gw berjalan mengikuti arus pengunjung lain sambil menikmati keindahan aneka bunga. Sepanjang hari taman ini dipenuhi orang. Ada yang duduk di bangku-bangku taman, banyak juga yang piknik bersama keluarga atau sekedar tiduran di rerumputan. Di beberapa sudut taman, tampak seniman beraksi dengan alat musiknya. Ada yang ngamen diiringi gitar, biola, bahkan sejenis alat musik tradisional..entah apa namanya. Boston Common memang dibuka sepanjang tahun, tapi bunga-bunga bermekaran hanya di bulan April sampai Oktober. Selebihnya taman tertutup salju, dan menjadi arena permainan selama musim dingin.

Orang-orang bersantai di Boston Common



Angin bertiup semilir, saat gw sampai di jembatan yang ada di tengah taman. Di ujung jembatan seorang bapak memainkan alat musik petik yang suaranya mengalun lembut. "Itu Swan Boat Terminal nya, mau naik ga?", tanya Bayu sambil menunjuk ke arah bawah samping jembatan. Salah satu atraksi populer di Boston Common adalah Swan Boat, keliling danau di atas perahu angsa. Beroperasi sejak 1877, awalnya Swan Boat hanya mampu mengangkut 8 orang, karena makin banyak pengunjung yang datang ke Boston Common, kini perahu bisa mengangkut 20 orang.  Keturunan Robert Paget, orang pertama yang meluncurkan perahu ini, ternyata masih mengoperasikan Swan Boat hingga saat ini. Untuk menikmati perjalanan keliling danau selama 15 menit, tiket Swan Boat untuk orang dewasa dipatok $2,75. Dari atas jembatan, antrean naik perahu angsa itu terlihat lumayan panjang. Selain angsa palsu, di sekitar danau juga ada angsa asli dan bebek. Hewan-hewan itu lumayan jinak dan tampak akrab dengan pengunjung yang berbaik hati memberi mereka remahan roti.. 

Swan Boat in Boston Common


Make Way for Ducklings
Menyebrang Charles Street, gw menuju sisi lain Boston Common. Selama ratusan tahun taman kota ini menjadi pusat aktifitas seni, budaya dan politik. Aksi-aksi besar juga digelar disini. Selain itu, Boston  Common juga menjadi rumah bagi beragam karya seni berupa patung dan monumen. Salah satu yang jadi favorit gw adalah patung berjudul Make Way for Ducklings. Patung ini merupakan penghargaan untuk cerita anak-anak dengan nama yang sama oleh penulis Robert McCloskey. Delapan bebek kecil yang manis ini telah memberikan kesenangan terhadap anak-anak di taman ini selama beberapa dekade :)

Kawasan taman di sekitar patung bebek ini boleh dibilang surganya bocah-bocah. Di sebelah timur suara musik dari merry-go-round memanggil-manggil calon penunggangnya. Sementara di sebelah barat ada Play Ground yang lumayan besar dengan aneka permainan. Tepat di seberangnya, membentang sebuah kolam dangkal, kira-kira tingginya 30 cm yang cukup terkenal dengan sebutan Frog Pond. Di musim panas, kolam dipenuhi anak-anak yang bermain air karena di bagian tengahnya ada beberapa air mancur. Saat musim dingin, Frog Pond ini berubah menjadi arena ice skating.
Frog Pond favoritnya bocah-bocah :)
Meninggalkan Frog Pond gw berjalan menuju Massachusetts State House. Tapi keliling taman lumayan bikin kaki pegel, jadilah kami duduk-duduk sebentar melepas penat sambil menikmati keindahan air mancur. The Fountain Brewer ini disumbangkan oleh Gardner Brewer pada tahun 1868, merupakan salinan dari air mancur yang dirancang oleh seniman Perancis Liénard untuk Pameran Dunia 1855 di Paris. Biasanya banyak kelompok sosial yang membagikan makanan gratis untuk para gelandangan yang ada di sekitar taman pada sore hari. Dari tempat kami duduk, kubah kuning keemasan Massachusetts State House sudah terlihat.


The Fountain Brewer
Dirancang oleh Charles Bulfinch, Masachusetts State House selesai dibangun pada 11 Januari 1798. Sebelum Kemerdekaan AS, lokasi ini digunakan sebagai padang rumput sapi milik John Hancock. Saat ini, Massachusetts State House adalah salah satu bangunan tertua di Beacon Hill, dengan luas perkarangan 6,7 hektar.

The Massachusetts State House
Kubah emas The Massachusetts State House itu awalnya terbuat dari kayu. Paul Revere, salah satu pahlawan AS, kemudian melapisinya dengan tembaga. Pada tahun 1874 barulah kubah dilapisi dengan emas 23 karat. Selama Perang Dunia II Masachusetts State House dicat hitam, untuk melindungi kota dari serangan bom. Kubah State House terkahir kali disepuh emas pada tahun 1997. Gedung ini dikenal masyarakat Boston sebagai New State House, untuk membedakannya dari Old State House yang berada di sudut State Street dan Congress Street. Sebuah biji pinus berlapis emas menghiasi bagian atas Kubah Massachusetts State House sebagai simbol ketergantungan negara pada penebangan kayu di abad ke-18. 
Senja segera berakhir, saat kami meninggalkan kemilau kubah emas mengikuti jejak garis merah Freedom Trail di jalanan menuju Faneuil Hall..

No comments:

Post a Comment